salam ukhuwah fillah!!
Ayyuhal ikhwah,
Tentu hampir kita semua pernah bercermin. Ketika hendak berangkat kerja, bersiap-siap pergi ke kampus, atau sekedar menyisir rambut dan merapihkan jilbab, kita tidak lupa untuk menyempatkan diri bercermin. Bahkan tidak sedikit dari kita yang dengan setia membawa cermin kecil dalam setiap aktivitas yang kita jalankan.
Tentu hampir kita semua pernah bercermin. Ketika hendak berangkat kerja, bersiap-siap pergi ke kampus, atau sekedar menyisir rambut dan merapihkan jilbab, kita tidak lupa untuk menyempatkan diri bercermin. Bahkan tidak sedikit dari kita yang dengan setia membawa cermin kecil dalam setiap aktivitas yang kita jalankan.
Tapi sadarkah kita bahwa walaupun cermin memantulkan bayangan yang sesuai dengan apa yang ada, namun tetap saja ia bersifat subyektif. Karena apa ? Karena kesimpulan akhir yang terungkap dari bayangan di cermin tentu saja dikeluarkan oleh orang yang bercermin. Ketampanan, kecantikan, dan bayangan seindah apapun yang terpantul dari cermin tentang diri kita tetap saja merupakan sesuatu yang tidak obyektif. Lantas, siapakah cermin sejati itu ? Jawabnya adalah orang lain.
Ikhwah fillah yang berbahagia,
Inilah sebuah kenyataan yang harus kita terima bahwa orang lainlah tempat terbaik untuk menilai diri kita. Penilaian yang diberikan orang lain mengenai diri kita akan lebih obyektif karena bagaimanapun orang lain relatif terbebas dari nilai-nilai ego yang begitu kuat mencengkram diri kita. Namun keobyektifan yang dihasilkan dari hasil bercermin kepada orang lain bukanlah sesuatu yang dapat kita peroleh secara gratis. Obyektifitas yang dihasilkan ternyata harus dibayar mahal dengan kerelaan kita untuk menerima penilaian bukan hanya yang bervalensi (bernilai) positif namun juga yang bervalensi negatif. Dikatakan mahal, karena memang sangat jarang manusia yang mampu berlapang dada mengakui kekurangan (valensi negatif) dalam dirinya. Manusia akan merasa terhina ketika kelemahannya diberitahukan kepada dirinya. Dan akan merasa bahagia ketika hal yang sebaliknya dilakukan.
Inilah sebuah kenyataan yang harus kita terima bahwa orang lainlah tempat terbaik untuk menilai diri kita. Penilaian yang diberikan orang lain mengenai diri kita akan lebih obyektif karena bagaimanapun orang lain relatif terbebas dari nilai-nilai ego yang begitu kuat mencengkram diri kita. Namun keobyektifan yang dihasilkan dari hasil bercermin kepada orang lain bukanlah sesuatu yang dapat kita peroleh secara gratis. Obyektifitas yang dihasilkan ternyata harus dibayar mahal dengan kerelaan kita untuk menerima penilaian bukan hanya yang bervalensi (bernilai) positif namun juga yang bervalensi negatif. Dikatakan mahal, karena memang sangat jarang manusia yang mampu berlapang dada mengakui kekurangan (valensi negatif) dalam dirinya. Manusia akan merasa terhina ketika kelemahannya diberitahukan kepada dirinya. Dan akan merasa bahagia ketika hal yang sebaliknya dilakukan.
Ikhwah fillah rahimakumullah,
Secara jujur harus kita katakan bahwa banyak dari kita yang belum mampu berlapang dada untuk menerima berita kelemahan mengenai diri kita yang biasanya diberikan dalam bentuk kritikan. Kita cenderung hanya bisa menerima bayangan yang memantulkan sosok diri kita yang sempurna tiada cacat sedikitpun. Padahal bisa jadi inilah rahasia mengapa Allah menyuruh kita untuk saling bertaushiyah, yaitu menyampaikan kritikan antara sesama kita dan bersamaan dengan itu berlapang dada untuk menerimanya. Dan memang seperti itulah seharusnya manusia yang baik. Bahkan kepiawaian seseorang dalam mengelola refleksi diri berupa kritik, akan mengantarkan orang tersebut menjadi pemimpin yang semakin hari semakin memiliki kualitas diri. Hal ini tanpa disadari terjadi karena pada hakikatnya kelapangan dada untuk menerima kritik adalah paralel dengan usaha melakukan perbaikan dan peningkatan kualitas diri.
Secara jujur harus kita katakan bahwa banyak dari kita yang belum mampu berlapang dada untuk menerima berita kelemahan mengenai diri kita yang biasanya diberikan dalam bentuk kritikan. Kita cenderung hanya bisa menerima bayangan yang memantulkan sosok diri kita yang sempurna tiada cacat sedikitpun. Padahal bisa jadi inilah rahasia mengapa Allah menyuruh kita untuk saling bertaushiyah, yaitu menyampaikan kritikan antara sesama kita dan bersamaan dengan itu berlapang dada untuk menerimanya. Dan memang seperti itulah seharusnya manusia yang baik. Bahkan kepiawaian seseorang dalam mengelola refleksi diri berupa kritik, akan mengantarkan orang tersebut menjadi pemimpin yang semakin hari semakin memiliki kualitas diri. Hal ini tanpa disadari terjadi karena pada hakikatnya kelapangan dada untuk menerima kritik adalah paralel dengan usaha melakukan perbaikan dan peningkatan kualitas diri.
Oleh sebab itu ikhwah fillah yang berbahagia,
Budaya bercermin pada cermin sejati inilah yang seharusnya kita kembangkan dalam diri kita. Karena selain sebagai sarana untuk melatih diri agar obyektif terhadap diri sendiri, juga sarana pengingat bahwa kita ---hamba Allah--- adalah makhluk yang lemah dan jauh dari kesempurnaan. Wallahu a'lam bishowab (BW)
Budaya bercermin pada cermin sejati inilah yang seharusnya kita kembangkan dalam diri kita. Karena selain sebagai sarana untuk melatih diri agar obyektif terhadap diri sendiri, juga sarana pengingat bahwa kita ---hamba Allah--- adalah makhluk yang lemah dan jauh dari kesempurnaan. Wallahu a'lam bishowab (BW)
0 comments:
Post a Comment